Mengenang Perjuangan Kartini dalam Kemajuan Wanita Indonesia
2020-04-21
Sosok Kartini mungkin tidak asing ditelinga kita semua, ya, beliau merupakan pahlawan nasional yang memperjuangkan hak – hak dan kesetaraan wanita yang menentang kondisi sosial yang berlaku pada waktu itu, terutama kondisi perempuan asli Indonesia. Sebagian besar suratnya memprotes kecenderungan budaya Jawa untuk memaksakan hambatan pada perkembangan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan untuk belajar dan belajar. Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879, dan berasal dari kalangan bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan M.A. Ngasirah. Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.
Setelah berusia 12 tahun, Kartini dikucilkan (pingit) di rumah, sebuah praktik umum di kalangan bangsawan Jawa, untuk mempersiapkan gadis-gadis muda untuk pernikahan mereka. Selama pengasingan anak perempuan tidak diizinkan meninggalkan rumah orang tua mereka sampai mereka menikah, pada saat itu wewenang atas mereka dipindahkan ke suami mereka. Ayah Kartini lebih lunak daripada beberapa selama pengasingan putrinya, memberinya hak istimewa seperti pelajaran menyulam dan penampilan sesekali di depan umum untuk acara-acara khusus. Semasa lajang sebagai perempuan mandiri, Kartini telah melahirkan sejumlah tulisan, seperti “Upacara Perkawinan pada Suku Koja” yang terbit di Holandsche Lelie saat berusia 14 tahun.
Selama masa pingit yang ia jalani, ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda menggunakan kemampuan berbahasa Belanda yang ia miliki. Salah satu temannya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Surat-surat Kartini juga menyatakan harapannya untuk dukungan dari luar negeri. Dalam korespondensinya dengan Estell "Stella" Zeehandelaar, R.A. Kartini menyatakan keinginannya untuk menjadi seperti pemuda Eropa. Dia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa yang terbelenggu oleh tradisi, tidak bisa belajar, mengasingkan, dan yang harus siap untuk berpartisipasi dalam pernikahan poligami dengan laki-laki yang tidak mereka kenal.
Kartini dikenal sebagai sosok yang selalu ingin tahu, membaca merupakan kegemarannya dalam mengisi hari – harinya, salah satu Bacaan Kartini termasuk surat kabar Semarang, di mana ia mulai mengirim kontribusi yang diterbitkan. Sebelum dia berusia 20 dia telah membaca Max Havelaar dan Love Letters oleh Multatuli. Dia juga membaca De Stille Kracht (The Hidden Force) karya Louis Couperus, karya-karya Frederik van Eeden, Augusta de Witt, penulis Romantis-Feminis Goekoop de-Jong Van Eek, dan novel anti-perang oleh Berta von Suttner, Die Waffen Nieder! (Letakkan Lengan Anda!). Semuanya tertulis dalam bahasa Belanda .
Beberapa hari kemudian pada 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 setelah melahirkan anak pertamanya dengan Bupati Rembang, Setelah Raden Adjeng Kartini meninggal, Mr. J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri di Hindia Timur, mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat yang dikirim Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Buku itu berjudul Door Duisternis tot Licht (Out of Dark Comes Light) dan diterbitkan pada tahun 1911. Ia melewati lima edisi, dengan beberapa surat tambahan termasuk dalam edisi terakhir, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Agnes L. Symmers dan diterbitkan di bawah judul Surat Putri Jawa. Publikasi R.A. Surat-surat Kartini, yang ditulis oleh seorang wanita asli Jawa, menarik minat besar di Belanda, dan ide-ide Kartini mulai mengubah cara Belanda memandang wanita asli di Jawa. Ide-idenya juga memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh terkemuka dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika surat-surat Kartini diterbitkan pada tahun 1911, Van Deventer terkesan sehingga tergerak untuk menulis sebuah resensi untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini. Cita-cita Kartini tersebut ia rasa cocok dengan cita-cita Deventer sendiri yakni mengangkat bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis, serta memperjuangkan emansipasi mereka. Sesudah Van Deventer meninggal di tahun 1915, istrinya mendirikan Yayasan Kartini untuk membuka sekolah-sekolah bagi wanita pribumi. Nyonya Deventer sendirilah yang mengurus segala-galanya hingga ribuan murid puteri pun memasuki Sekolah Kartini yang bernaung dibawah Yayasan Kartini.