Pentingnya Peran Pemberantasan Saran Nyamuk (PSN) untuk Mencegah Demam Berdarah

Post on 22 Januari 2024

     Jakarta - Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di wilayah tropis dan subtropis, tidak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara endemis DBD. Sejak pertama kali kasus DBD dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, angka kesakitan DBD menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun dan wilayah penyebarannya pun semakin luas hampir di seluruh kabupaten / kota di Indonesia. Namun angka kematian akibat DBD dalam satu dekade terakhir dapat ditekan sampai dibawah angka 1%. Upaya peningkatan pemberdayaan dan peran serta masyarakat masih menjadi strategi prioritas dalam upaya pencegahan dan pengendalian DBD.

  

DBD diperkirakan akan masih cenderung meningkat dan meluas sebarannya. Hal ini karena vektor penular DBD tersebar luas baik di tempat pemukiman maupun ditempat umum. Selain itu kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, urbanisasi yang semakin meningkat terutama sejak 3 dekade terakhir. Faktor - faktor lain yang mempengaruhi penyebarluasan DBD antara lain adalah :

a. Perilaku masyarakat

b. Perubahan iklim global

c. Pertumbuhan ekonomi

Ketersediaan air bersih

 

          Cara yang dapat dilakukan saat ini dengan menghindari atau mencegah gigitan nyamuk penular DBD. Oleh karena itu upaya pengendalian DBD yang penting pada saat ini adalah melalui upaya pengendalian nyamuk penular dan upaya membatasi kematian karena DBD


        Penyebab penyakit Dengue adalah Arthrophod borne virus, famili Flaviviridaes, genus flavivirus. Virues Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, nyamuk penular dengue ini terdapat hampir diseluruh pelosok Indonesia, kecuali tempat - tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Pengertian vektor DBD adalah nyamuk yang dapat menularkan, memindahkan dan atau menjadi sumber penular DBD. Kemudia yang dikenal sebagai vektor DBD adalah nyamuk Aedes betina. Perbedaan morfologi antara nyamuk aedes aegypti antara betina dan jantan terdapat pada perbedaan morfologi antena, Aedes aedypti jantan memiliki antena berbulu lebat sedangkan nyamuk Aedes aegypti betina memiliki antena berbulu agak jarang / tidak lebat.


           

       Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran kurang lebih 0,80 mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat penampung air. Telur dapat bertahan sampai kurang lebih 6 bulan di tempat kering. Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata - rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik - binitk putih pada bagian badan dan kaki.


     Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur – jentik (larva) –pupa - nyamuk. Stadium telur, jentikdan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (Pupa) berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan. Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Tempat penampungan air untuk keperluan sehari - hari seperti drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi, dan ember.

2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari - hari seperti tempat     minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol pembuangan air, tempat     pembuangan air kulkas / dispenser, talang air yang tersumbat, barang - barang     bekas seperti ban, kaleng, botol, plastik. Tempat penampungan air alamiah seperti     lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang,     dan potongan bambu.


           

       Beberapa faktor yang berisiko terjadinya penularan dan semakin berkembangnya penyakit DBD adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak memiliki pola tertentu, faktor urbanisasi yang tidak berencana dan terkontrol dengan baik, semakin majunya sistem transportasi sehingga mobilisasi penduduk sangat mudah, sistem pengelolaan limbah dan penyediaan air bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk, kurangnya sistem pengendalian nyamuk yang efektif, serta melemahnya struktur kesehatan masyarakat. Selain faktor-faktor lingkungan tersebut diatas status imunologi seseorang, strain virus/serotipe virus yang menginfeksi, usia dan riwayat genetik juga berpengaruh terhadap penularan penyakit.Perubahan iklim (climate change) global yang menyebabkan kenaikan rata-rata temperatur, perubahan pola musim hujan dan kemarau juga disinyalir menyebabkan risiko terhadap penularan DBD bahkan berisiko terhadap munculnya KLB DBD. Sebagai contoh adanya kenaikan Index Curah Hujan (ICH) di beberapa provinsi yaitu NTT, DKI dan Kalimantan Timur selalu diikuti dengan kenaikan kasus DBD.


           

       Setelah mengetahui tentang vektor penyebarang DBD perlu diketahui tentang adanya pengendalian vektor. Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan cara meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit. Metode pengendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan mempertimbangkan faktor–faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman, tempat perkembangbiakan), lingkungan sosial-budaya (pengetahuan, sikap dan perilaku) dan aspek vektor (perilaku dan status kerentanan vektor). Pengendalian vektor dapat dilakukan secara fisik, biologi, kimia dan terpadu dari metode fisik, biologi dan kimia.



Pengendalian fisik merupakan pilihan utama pengendalian vektor DBD melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara menguras bak mandi/bak penampungan air, menutup rapat-rapat tempat penampungan air dan memanfaatkan kembali/mendaur ulang barang bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk (3M). PSN 3M akan memberikan hasil yang baik apabila dilakukan secara luas dan serentak, terus menerus dan berkesinambungan. PSN 3M sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sekali sehingga terjadi pemutusan rantai pertumbuhan nyamuk pra dewasa tidak menjadi dewasa. Yang menjadi sasaran kegiatan PSN 3M adalah semua tempat potensial perkembangbiakan nyamuk Aedes, antara lain tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA) dan tempat penampungan air alamiah. PSN 3M dilakukan dengan cara sebagai berikut :

l. Menguras dan menyikat tempat - tempat penampungan air, seperti bak mandi / wc, drum, dan lain - lain seminggu sekali.

2. Menutup rapat tempat penampungan air, seperti gentong air atau tempayan.

   Memanfaatkan atau mendaur ulang barang - barang bekas yang dapat         menampung air hujan.



PSN 3M diiringi dengan kegiatan plus lainnya, antara lain :

- Mengganti air va bunga, tempat minum burung atau tempat lainnya sejenis seminggu sekali

- Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar / rusak

- Menutup lubang pada potongan bambu, pohon, dan lain - lain

- Menaburkan bubuk larvasida ditempat yang sulit dikuran atau di daerah yang sulit air

- Memelihara ikan pemakan jentik di kolam / bak penampungan air

- Memasang kawat kasa

- Menghindari menggantung pakaian dalam kamar

- Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai

- Menggunakan kelambu

- Memakai losion pencegah gigitan nyamuk


       

Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi antara lain:

1. Predator/pemangsa jentik (hewan, serangga, parasit) sebagai musuh alami            stadium pra dewasa nyamuk. Jenis predator yang digunakan adalah ikan pemakan     jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung (nympha),     Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau bukan     sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor DBD.

 

2. Insektisida biologi untuk pengendalian DBD, diantaranya: Insect Growth     Regulator (IGR) dan Bacillus Thuringiensis Israelensis(BTI) ditujukan untuk     pengendalian stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat     perkembangbiakan vektor.a. IGR mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di     masa pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin synthesis     selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupae dan     nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap     mamalia (nilai LD50 untuk keracunan akut pada methoprene adalah 34.600     mg/kg ).b. BTI sebagai salah satu pembasmi jentik nyamuk/larvasida yang ramah     lingkungan. BTI terbukti aman bagi manusia bila digunakan dalam air minum     pada dosis normal. Keunggulan BTI adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa     menyerang predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTI cenderung     secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang     berulang kali.


           

          Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang dalam jangka waktu lama di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi. Insektisida tidak dapat digunakan apabila nyamuk resisten/kebal terhadap insektisida. Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD, antara lain :


1. Sasaran dewasa (nyamuk) antara lain : Organophospat (Malathion,     methylpirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, Lamda-cyhalotrine, Cyflutrine,     Permethrine, S-Bioalethrine dan lain-lain). Yang ditujukan untuk stadium dewasa     yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/fogging dan pengabutan     dingin/ULV.

2. Sasaran pra dewasa ( jentik)/ larvasida antara lain: Organophospat (temephos),     Piriproxifen dan lain-lain.




Sumber : Pedoman pencegahan dan pengendalian demam berdarah dengue di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI.

Berita Lainnya